Desa Penglipuran Bali: Lokasi, Jam Operasional, dan Harga Tiket Di tengah gempuran modernisasi dan pariwisata massal di Bali, ada satu desa yang tetap menjaga kesucian, keteraturan, dan keaslian budaya tradisional Bali. Namanya Desa Penglipuran, sebuah kawasan wisata budaya yang terletak di Kabupaten Bangli dan dikenal sebagai salah satu desa terbersih di dunia. Keindahan arsitektur rumah yang seragam, jalan batu yang rapi, dan suasana tenang membuat siapa pun yang datang merasa seolah melangkah ke masa lalu — masa ketika kehidupan masyarakat Bali masih sangat dekat dengan alam dan adat.
Pada tahun 2025, Desa Penglipuran tetap menjadi destinasi unggulan yang wajib dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Bukan hanya karena keindahan visualnya, tetapi juga karena nilai filosofis dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Lokasi Desa Penglipuran dan Cara Menuju ke Sana
Desa Penglipuran terletak di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, sekitar 45 kilometer dari Denpasar atau 30 kilometer dari Ubud. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam menggunakan kendaraan pribadi. Jalur paling populer adalah melalui rute Gianyar – Kintamani, di mana wisatawan dapat menikmati panorama pegunungan dan hamparan sawah yang hijau sepanjang jalan.
Jika Anda datang dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Anda bisa menggunakan kendaraan sewaan atau ikut tur harian. Banyak operator wisata menyediakan paket ke Desa Penglipuran, biasanya dikombinasikan dengan kunjungan ke Kintamani atau Danau Batur. Jalan menuju lokasi sudah sangat baik, dengan petunjuk arah yang jelas, sehingga mudah diakses oleh kendaraan besar sekalipun.
Setibanya di gerbang utama, pengunjung akan disambut dengan suasana pedesaan yang tenang, deretan rumah adat berdinding bambu, serta udara sejuk khas dataran tinggi. Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada suara kendaraan berisik. Semuanya terasa damai.
“Begitu memasuki gerbang Penglipuran, rasanya seperti menutup pintu dunia modern dan membuka halaman baru tentang harmoni.”
Asal-Usul dan Makna Filosofis Nama Penglipuran
Nama “Penglipuran” berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti “tempat suci untuk mengenang para leluhur.” Konsep ini mencerminkan hubungan spiritual masyarakat dengan nenek moyang dan tanah tempat mereka berpijak.
Konon, masyarakat Penglipuran merupakan keturunan warga Desa Bayung Gede yang berpindah ke lokasi sekarang ratusan tahun lalu. Mereka membawa serta nilai-nilai adat dan sistem tata ruang tradisional Bali yang disebut Tri Mandala, yang membagi wilayah menjadi tiga bagian: utama mandala (zona suci), madya mandala (zona aktivitas), dan nista mandala (zona profan).
Seluruh tata letak desa mengikuti prinsip itu. Jalan utama membentang lurus dari gerbang ke pura di ujung atas, dengan rumah-rumah berjajar simetris di kanan dan kiri. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada kesenjangan sosial. Semua rumah terlihat sama, mencerminkan filosofi kesetaraan dan kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh warga Penglipuran.
Arsitektur dan Keunikan Desa
Hal yang paling mencolok ketika memasuki Desa Penglipuran adalah arsitektur rumah yang seragam. Setiap rumah memiliki gerbang kayu dengan atap ijuk yang disebut angkul-angkul. Dindingnya terbuat dari campuran bambu, tanah, dan batu alam, sementara pekarangan dalamnya memiliki bale bengong (balai istirahat), paon (dapur), dan sanggah (tempat sembahyang keluarga).
Keunikan lainnya adalah keteraturan tata ruang desa yang masih dijaga secara turun-temurun. Jalan utama di tengah desa hanya boleh dilalui pejalan kaki atau sepeda. Tidak ada mobil yang boleh masuk ke area utama, sebuah kebijakan yang menjadikan Penglipuran sangat ramah lingkungan dan bebas polusi.
Di beberapa titik, wisatawan bisa melihat penataan taman bambu yang menjadi ciri khas desa ini. Hampir seluruh bahan bangunan dan furnitur dihasilkan dari bambu, mulai dari atap, pagar, hingga alat rumah tangga. Bambu bukan hanya bahan alam, tapi simbol keseimbangan antara manusia dan alam semesta.
“Setiap helai bambu di Penglipuran seperti menyimpan doa agar manusia tetap tahu bagaimana hidup selaras dengan bumi.”
Aktivitas Wisata yang Bisa Dilakukan di Penglipuran
Meskipun dikenal sebagai desa tradisional, Penglipuran menawarkan banyak aktivitas menarik yang bisa dilakukan wisatawan. Bukan hanya berjalan-jalan dan berfoto, tetapi juga merasakan langsung kehidupan masyarakatnya.
1. Berjalan di Jalan Utama Desa
Jalan batu yang membentang dari utara ke selatan adalah jantung Desa Penglipuran. Di sini, wisatawan bisa menyusuri deretan rumah yang rapi, sambil menikmati udara sejuk dan pemandangan gunung di kejauhan. Setiap langkah seakan membawa Anda ke dimensi waktu yang berbeda.
2. Mengunjungi Rumah Adat
Beberapa warga membuka rumahnya untuk dikunjungi wisatawan. Di dalamnya, Anda bisa melihat bagaimana tatanan rumah tradisional Bali diterapkan secara konsisten. Ada pula tur singkat yang menjelaskan fungsi setiap bangunan dan makna spiritual di baliknya.
3. Menyaksikan Upacara Adat
Jika beruntung datang pada waktu tertentu, pengunjung bisa menyaksikan upacara adat seperti Ngusaba Desa atau Galungan. Upacara ini menampilkan tarian, sesajen, dan ritual keagamaan yang mencerminkan ketaatan masyarakat terhadap tradisi Hindu Bali.
4. Menikmati Kuliner Tradisional
Di area parkir dan beberapa rumah warga, tersedia kuliner khas seperti tipat cantok, lawar ayam, dan minuman tradisional loloh cemcem yang menyegarkan. Semua bahan makanan diolah secara alami, tanpa bahan kimia tambahan.
5. Menginap di Homestay
Bagi wisatawan yang ingin merasakan pengalaman hidup di desa adat, tersedia homestay yang dikelola oleh penduduk setempat. Menginap di sini memungkinkan Anda ikut dalam aktivitas harian warga, seperti menyiapkan sesajen atau membuat anyaman bambu.
“Tidur di tengah heningnya malam Penglipuran, hanya ditemani suara jangkrik dan aroma dupa, adalah pengalaman yang membuat hati tenang.”
Jam Operasional Desa Penglipuran
Desa Penglipuran buka setiap hari untuk umum. Pada tahun 2025, jam operasionalnya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu:
- Setiap hari: 08.00 – 18.00 WITA
Namun, waktu terbaik untuk berkunjung adalah pagi hari antara pukul 08.00 hingga 10.00, ketika udara masih sejuk dan sinar matahari menembus celah pepohonan dengan lembut. Selain itu, di waktu ini desa belum terlalu ramai oleh wisatawan, sehingga suasana lebih tenang untuk berjalan dan berfoto.
Bagi fotografer, sore hari menjelang matahari terbenam juga menjadi waktu ideal. Pantulan cahaya senja di atap bambu rumah-rumah desa menciptakan nuansa hangat yang menenangkan.
Selama hari-hari besar keagamaan, jam kunjungan wisatawan bisa dibatasi karena warga fokus pada upacara adat. Sebaiknya, sebelum datang, wisatawan mengecek jadwal kegiatan desa melalui situs resmi atau akun media sosial Desa Penglipuran.
Harga Tiket Masuk Desa Penglipuran 2025
Tahun 2025 membawa sedikit penyesuaian harga tiket masuk, seiring dengan meningkatnya fasilitas dan perawatan kawasan. Berikut daftar harga tiket masuk terbaru yang berlaku mulai Januari 2025:
Kategori Pengunjung | Harga Tiket Masuk |
---|---|
Wisatawan Domestik (Dewasa) | Rp 25.000 |
Wisatawan Domestik (Anak-anak) | Rp 15.000 |
Wisatawan Mancanegara (Dewasa) | Rp 50.000 |
Wisatawan Mancanegara (Anak-anak) | Rp 30.000 |
Parkir Motor | Rp 3.000 |
Parkir Mobil | Rp 5.000 |
Harga tersebut sudah termasuk akses ke area utama desa, taman bambu, dan fasilitas umum seperti toilet serta area istirahat. Jika ingin mengikuti tur khusus atau workshop bambu, pengunjung biasanya dikenakan biaya tambahan sesuai paket yang ditawarkan oleh warga setempat.
Pendapatan dari tiket masuk digunakan langsung untuk pemeliharaan desa dan pelestarian adat. Hal ini membuat warga tetap bersemangat menjaga lingkungan dan tradisi, karena setiap wisatawan yang datang turut berkontribusi terhadap keberlanjutan desa mereka.
Fasilitas yang Disediakan untuk Wisatawan
Meski menjaga konsep tradisional, Desa Penglipuran dilengkapi dengan fasilitas modern yang menunjang kenyamanan pengunjung. Area parkir luas tersedia di pintu masuk, lengkap dengan pos informasi, toilet bersih, serta area kuliner.
Beberapa fasilitas lainnya yang bisa dinikmati antara lain:
- Pusat Informasi Wisata dengan pemandu lokal yang siap menjelaskan sejarah dan filosofi desa.
- Galeri kerajinan bambu yang menjual hasil karya warga seperti tas, topi, dan perabot rumah tangga.
- Spot foto tematik dengan latar gerbang angkul-angkul yang menjadi ikon utama Penglipuran.
- Area istirahat dengan kursi bambu di sepanjang jalan utama.
Selain itu, tersedia penyewaan kain tradisional Bali bagi wisatawan yang ingin berfoto dengan nuansa adat setempat. Fasilitas pembayaran digital juga mulai diterapkan di sejumlah kios dan area tiket, memudahkan wisatawan yang tidak membawa uang tunai.
“Keseimbangan antara tradisi dan modernitas di Penglipuran menunjukkan bahwa kemajuan tak harus menghapus jati diri.”
Penglipuran dan Gelar Desa Terbersih di Dunia
Predikat “Desa Terbersih di Dunia” bukan sekadar slogan. Masyarakat Penglipuran memiliki aturan adat yang sangat ketat terhadap kebersihan dan tata kehidupan sosial. Tidak ada satu pun sampah plastik berserakan, dan seluruh penduduk diwajibkan memilah sampah organik serta anorganik.
Kedisiplinan ini bukan karena pengawasan aparat, tetapi hasil kesadaran kolektif warga yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap keluarga memiliki tanggung jawab moral menjaga lingkungan sekitar rumah mereka.
Selain kebersihan fisik, desa ini juga bersih dari perilaku negatif seperti pencurian dan kekerasan. Warga hidup dalam harmoni dengan prinsip awig-awig atau hukum adat yang disepakati bersama.
Karena konsistensinya menjaga kebersihan dan keharmonisan sosial, Desa Penglipuran sering menjadi percontohan bagi desa wisata di seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara.
Daya Tarik Budaya yang Tak Lekang Waktu
Lebih dari sekadar destinasi wisata, Penglipuran adalah representasi kehidupan ideal masyarakat Bali: religius, rukun, dan menyatu dengan alam. Tidak heran jika banyak pengunjung yang datang bukan hanya untuk berwisata, tetapi juga untuk belajar filosofi hidup dari masyarakatnya.
Beberapa lembaga pendidikan dan komunitas budaya bahkan menjadikan Penglipuran sebagai lokasi penelitian tentang pelestarian adat dan manajemen lingkungan berbasis masyarakat. Nilai-nilai seperti gotong royong, kesederhanaan, dan kepedulian sosial menjadi “produk budaya” yang tak ternilai.